Semar
Ucapan mbah semar setiap kali mau mengawali dialog :
Ucapan mbah semar setiap kali mau mengawali dialog :
mbergegeg, ugeg-ugeg, hmel-hmel, sak dulito, langgeng…
(diam, bergerak/berusaha, makan, walaupun sedikit, abadi)
maksudnya daripada diam (mbergegeg) lebih
baik berusaha untuk lepas (ugeg-ugeg) dan mencari makan (hmel-hmel)
walaupun hasilnya sedikit (sak ndulit) tapi akan terasa abadi
(langgeng).
sebuah pesan agar kita selalu bekerja
keras untuk mencari nafkah walaupun hasilnya hanya cukup untuk makan
namun kepuasan yg didapat krn berusaha tsb akan abadi.
Punakawan dan syi’ar islam
Punakawan dan syi’ar islam
Semar, nama tokoh ini berasal dari bahasa
arab Ismar. Dalam lidah jawa kata Is- biasanya dibaca Se-. Contohnya
seperti Istambul menjadi Setambul. Ismar berarti paku. Tokoh ini
dijadikan pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran yang ada atau sebagai
advicer dalam mencari kebenaran terhadap segala masalah. Agama adalah
pengokoh/pedoman hidup manusia. Semar dengan demikian juga adalah
simbolisasi dari agama sebagai prinsip hidup setiap umat beragama.
Nala Gareng, juga diadaptasi dari kata
arab Naala Qariin. Dalam pengucapan lidah jawa, kata Naala Qariin
menjadi Nala Gareng. Kata ini berarti memperoleh banyak teman, ini
sesuai dengan dakwah para aulia sebagai juru dakwah untuk memperoleh
sebanyak-banyaknya teman (umat) agar kembali ke jalan Allah SWT dengan
sikap arif dan harapan yang baik.
Petruk, diadaptasi dari kata Fatruk. Kata
ini merupakan kata pangkal dari sebuah wejangan (petuah) tasawuf yang
berbunyi: Fat-ruk kulla maa siwalLaahi, yang artinya: tinggalkan semua
apapun yang selain Allah. Wejangan tersebut kemudian menjadi watak para
aulia dan mubaligh pada waktu itu. Petruk juga sering disebut Kanthong
Bolong artinya kantong yang berlubang. Maknanya bahwa, setiap manusia
harus menzakatkan hartanya dan menyerahkan jiwa raganya kepada Allah SWT
secara ikhlas, seperti berlubangnya kantong yang tanpa penghalang.
Bagong, berasal dari kata Baghaa yang
berarti berontak. Yaitu berontak terhadap kebathilan dan
keangkaramurkaan. Si “Bayangan Semar” ini karakternya lancang dan suka
berlagak bodoh.
Secara umum, Panakawan melambangkan orang kebanyakan. Karakternya mengindikasikan bermacam-macam peran, seperti penghibur, kritisi sosial, badut bahkan sumber kebenaran dan kebijakan. Para tokoh panakawan juga berfungsi sebagai pamomong (pengasuh) untuk tokoh wayang lainnya. Pada dasarnya setiap manusia umumnya memerlukan pamomong, mengingat lemahnya manusia, hidupnya perlu orang lain (makhluk sosial) yang dapat membantunya mengarahkan atau memberikan saran / pertimbangan. Pamomong dapat diartikan pula sebagai guru / mursyid terhadap salik yang dalam upaya pencerahan jati diri.
Karakter Panakawan (selain para tokoh
lainnya) dari jalur acuan Walisongo sebenarnya muncul berdasarkan
penuturan Puntadewa/Dharmakusuma (satu-satunya dari Pandawa yang
kemudian memeluk Islam) dan Semar / Ismaya kepada Sunan Kalijaga dalam
komunikasi ghaib (yang tidak terbatasi ruang dan waktu) sesama aulia.
Dijelaskan juga bahwa selain Semar, para panakawan yang dinyatakan
sebagai anaknya (Gareng, Petruk dan Bagong) sebenarnya adalah dari
bangsa Jin.
Tokoh Panakawan dimainkan dalam sesi
goro-goro. Pada setiap permulaan permainan wayang biasanya tidak ada
adegan kekerasan antara tokoh-tokohnya hingga lakon goro-goro dimainkan.
Artinya adalah bahwa jalan kekerasan adalah alternatif terakhir. Dalam
Islam pun, setiap dakwah yang dilakukan harus menggunakan tahap-tahap
yang sama. Lakon goro-goro pun menggambarkan atau membuka semua
kesalahan, dari yang samar-samar menjadi kelihatan jelas sebagaimana
sebuah doa: Allahuma arinal haqa-haqa warzuknat tibaa wa’arinal
bathila-bathila warzuknat tinaba, artinya: Ya Allah tunjukilah yang
benar kelihatan benar dan berilah kepadaku kekuatan untuk
menjalankannya, dan tunjukillah yang salah kelihatan salah dan berilah
kekuatan kepadaku untuk menghindarinya.
Petruk
Berbeda dengan filsafat Barat, yang
berakar dari filsafat Yunani (Socrates dkk.), filsafat Jawa tidak mau
bersusah payah untuk berusaha menemukan apa kiranya ‘unsur zat terkecil
yang tidak bisa dibagi lagi yang membentuk suatu benda’. Bagi orang Jawa
semua itu adalah urusan dan pekerjaan ‘Sing Ngecet Lombok’. Bukan tugas
manusia memikirkannya.
Jika Plato setelah melalui pemikiran
yang mendalam akhirnya memiliki keyakinan bahwa: terdapat kuda sempurna
di alam kekal yang menjadi blue-print dari kuda-kuda yang ada dan kita
lihat sekarang, maka bagi orang Jawa: yang penting adalah bagaimana
merawat kuda dengan baik. Dan untuk menjadi seorang kusir dokar yang
terampil kita memang tidak perlu tahu ‘apakah memang benar ada kuda
sempurna di alam kekal’.
Filsafat Jawa berbicara tentang hal-hal
yang sederhana, namun sangat mendasar dan mendalam. Orang Jawa tidak mau
pusing-pusing memikirkan apakah bumi berbentuk bulat ataukah lonjong,
tapi yang penting adalah bagaimana manusia menjaga keselarasan (harmoni)
dengan alam semesta, dan terlebih lagi dengan sesamanya: ‘uripku aja
nganti duwe mungsuh’.
Filsafat Jawa mengajarkan kehidupan yang
sederhana, dan menginsyafi bahwa harta benda tidaklah memberikan
kebahagiaan yang hakiki: ’sugih durung karuan seneng, ora duwe durung
karuan susah’. Meski demikian manusia harus bekerja: ‘urip kudu nyambut
gawe’, dan mengetahui kedudukannya di dalam tatanan masyarakat.
Manusia Jawa percaya bahwa setiap orang
memiliki tempatnya sendiri-sendiri: ‘pipi padha pipi, bokong padha
bokong’. Kebijaksanaan kuno ini bahkan selaras dengan ilmu manajemen
modern yang mengajarkan bahwa setiap individu harus memilih profesi yang
cocok dengan karakternya. Setelah menemukan bidang profesi yang cocok,
hendaknya kita fokus pada bidang tersebut, sebab jika kita tidak fokus
akhirnya tak satupun pekerjaan yang terselesaikan: ‘Urip iku pindha wong
njajan. Kabeh ora bisa dipangan. Miliha sing bisa kepangan.’
Berikut ini kutipan lengkap salah satu
pitutur luhur yang sering disampaikan ki dalang dalam pertunjukan wayang
kulit melalui tokoh Petruk:
NGELMU KYAI PETRUK
Kuncung ireng pancal putih
Swarga durung weruh
Neraka durung wanuh
Mung donya sing aku weruh
Uripku aja nganti duwe mungsuh.
Swarga durung weruh
Neraka durung wanuh
Mung donya sing aku weruh
Uripku aja nganti duwe mungsuh.
Ribang bumi ribang nyawa
Ana beja ana cilaka
Ana urip ana mati.
Precil mijet wohing ranti
Seneng mesti susah
Susah mesti seneng
Aja seneng nek duwe
Aja susah nek ora duwe.
Ana beja ana cilaka
Ana urip ana mati.
Precil mijet wohing ranti
Seneng mesti susah
Susah mesti seneng
Aja seneng nek duwe
Aja susah nek ora duwe.
Senenge saklentheng susahe sarendheng
Susah jebule seneng
Seneng jebule susah
Sugih durung karuan seneng
Ora duwe durung karuan susah
Susah seneng ora bisa disawang
Bisane mung dirasakake dhewe.
Susah jebule seneng
Seneng jebule susah
Sugih durung karuan seneng
Ora duwe durung karuan susah
Susah seneng ora bisa disawang
Bisane mung dirasakake dhewe.
Kapiran kapirun sapi ora nuntun
Urip aja mung nenuwun
Yen sapimu masuk angin tambanana
Jamune ulekan lombok, bawang
uyah lan kecap
Wetenge wedhakana parutan jahe
Urip kudu nyambut gawe
Urip aja mung nenuwun
Yen sapimu masuk angin tambanana
Jamune ulekan lombok, bawang
uyah lan kecap
Wetenge wedhakana parutan jahe
Urip kudu nyambut gawe
Pipi ngempong bokong
Iki dhapur sampurnaning wong
Yen ngelak ngombea
Yen ngelih mangana
Yen kesel ngasoa
Yen ngantuk turua.
Iki dhapur sampurnaning wong
Yen ngelak ngombea
Yen ngelih mangana
Yen kesel ngasoa
Yen ngantuk turua.
Pipi padha pipi
Bokong padha bokong
Pipi dudu bokong.
Onde-onde jemblem bakwan
Urip iku pindha wong njajan
Kabeh ora bisa dipangan
Miliha sing bisa kepangan
Mula elinga dhandhanggulane jajan:
Bokong padha bokong
Pipi dudu bokong.
Onde-onde jemblem bakwan
Urip iku pindha wong njajan
Kabeh ora bisa dipangan
Miliha sing bisa kepangan
Mula elinga dhandhanggulane jajan:
Pipis kopyor sanggupira lunga ngaji
Le ngaji nyang be jadah
Gedang goreng iku rewange
Kepethuk si alu-alu
Nunggang dangglem nyengkelit lopis
Utusane tuwan jenang
Arso mbedhah ing mendhut
Rame nggennya bandayudha
Silih ungkih tan ana ngalah sawiji
Patinira kecucuran
Le ngaji nyang be jadah
Gedang goreng iku rewange
Kepethuk si alu-alu
Nunggang dangglem nyengkelit lopis
Utusane tuwan jenang
Arso mbedhah ing mendhut
Rame nggennya bandayudha
Silih ungkih tan ana ngalah sawiji
Patinira kecucuran
Ki Daruna Ni Daruni
Wis ya, aku bali menyang Giri
Aku iki Kyai Petruk ratuning Merapi
Lho ratu kok kadi pak tani?
Wis ya, aku bali menyang Giri
Aku iki Kyai Petruk ratuning Merapi
Lho ratu kok kadi pak tani?
Di dalam cerita Pewayangan khususnya
Yogyakarta dan Surakarta dikenal adanya tokoh Panakawan. Pana artinya
mengetahui, memahami permasalahan yang dihadapi dan mampu memberikan
solusi-solusinya. Sedangkan Kawan atau sekawan selain berarti berjumlah
empat, juga dapat dimaknai sebagai teman atau sahabat. Mereka adalah
Semar beserta ketiga anaknya, yaitu; Gareng, anak yang paling tua,
Petruk anak kedua dan yang bungsu bernama Bagong.
Tugas utama panakawan adalah menghantar
dan memomong tokoh ksatria dalam mencari dan mencapai cita-cita
hidupnya. Hubungan antara panakawan dan tokoh ksatria adalah hubungan
yang sangat lentur. Kadang-kadang hubungan mereka bagaikan abdi dan
bendara, yang melayani dan yang dilayani. Ada kalanya hubungan mereka
seperti layaknya raja dan rakyatnya, gusti dan kawula, yang disembah dan
yang menyembah Namun yang lebih tepat hubungan antara Panakawan dan
ksatria bagaikan kedua sahabat yang saling berkomunikasi, berinteraksi,
bertukar pendapat serta pikirannya untuk menyelesaikan dan menyingkirkan
masalah-masalah yang menghalangi dalam usahanya mencapai sebuah
cita-cita. Mereka saling asah (mengasah budi dan pikiran), asih
(mengasihi dan mencintai), asuh (menjaga dan memelihara).
Keberhasilan tokoh ksatria dalam mencapai
cita-citanya sangat bergantung kepada panakawan. Jika sang ksatria
bersikap rendah hati mampu membina hubungan yang harmonis dengan
panakawan, mau membuka hati untuk mendengarkan dan melaksanakan saran
dari tokoh panakawan, dan rela hidup miskin, niscaya keberhasilan akan
tercapai. Namun jika terjadi sebaliknya, kegagalanlah yang didapat.
Karena begitu dominannya peran panakawan dalam menentukan keberhasilan
sang ksatria, maka kemudian muncul sebuah pertanyaan Siapakah
sesungguhnya tokoh panakawan tersebut? Menyimbolkan apakah mereka?
Mengapa berjumlah empat?
Tidak sedikit tulisan dan pendapat yang
menguraikan tokoh panakawan. Diantaranya adalah bahwa tokoh panakawan
adalah Dewa atau penguasa semesta alam yang ngejawantah menjadi manusia
miskin untuk bekerjasama dan membantu usaha manusia agar dapat mencapai
cita-cita luhur. Ada juga yang berpendapat bahwa kemunculan tokoh
panakawan ini bersamaan dengan suatu gerakan kalangan bawah yang ingin
menunjukan kekuatan rakyat yang sesunguhnya. Raja dan para bangsawan
(ksatria) yang berkuasa, tidak akan pernah berhasil mengantar negerinya
kearah kemakmuran dan kesejahteraan jika tidak didukung dan di emong
oleh rakyat. Seperti yang digambarkan dalam cerita wayang bahwa yang
berhasil dan menang dalam sebuah pergulatan mendapatkan ‘wahyu’ adalah
tokoh yang senantiasa diikuti oleh panakawan.
Sementara itu ada yang menguraikan bahwa
ke empat panakawan tersebut merupakan simbol dari cipta, rasa, karsa dan
karya. Semar mempunyai ciri menonjol yaitu kuncung putih. Kuncung putih
di kepala sebagai simbol dari pikiran, gagasan yang jernih atau cipta,.
Gareng mempunyai ciri yang menonjol yaitu bermata kero, bertangan cekot
dan berkaki pincang. Ke tiga cacat fisik tersebut menyimbolkan rasa.
Mata kero, adalah rasa kewaspadaan. Tangan cekot adalah rasa ketelitian.
Kaki pincang adalah rasa kehati-hatian. Petruk adalah simbol dari
kehendak, keinginan, karsa yang digambarkan dalam kedua tangannya.
Tangan depan menuding dengan telunjuknya, tangan belakang dalam posisi
menggenggam. Jika digerakkan, kedua tangan tersebut bagaikan kedua orang
yang bekerjasama dengan baik. Tangan depan menunjuk, memilih apa yang
dikehendaki, tangan belakang menggenggam erat-erat apa yang telah
dipilih. Sedangkan karya disimbolkan Bagong dengan dua tangan yang
kelima jarinya terbuka lebar, artinya pekerja keras. Cipta, rasa, karsa
dan karya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Cipta,
rasa, karsa dan karsa berada dalam satu wilayah yang bernama pribadi
atau jati diri manusia, disimbolkan tokoh Ksatria. Gambaran manusia
ideal adalah merupakan gambaran pribadi manusia yang utuh, dimana cipta,
rasa, karsa dan karya dapat menempati fungsinya masin-masing dengan
harmonis untuk kemudian berjalan seiring menuju cita-cita yang luhur.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa antara Ksatria dan panakawan
mempunyai hubungan signifikan. Tokoh ksatria akan berhasil dalam
hidupnya dan mencapai cita-cita ideal jika didasari sebuah pikiran
jernih (cipta), hati tulus (rasa), kehendak, tekad bulat (karsa) dan mau
bekerja keras (karya).
Diibaratkan seorang sais (jati diri
manusia) mengendarai sebuah kereta yang ditarik empat ekor kuda (cipta,
rasa, karsa dan karya). Bagaimana Kereta itu berjalan untuk mencapai
tujuan sangat bergantung dengan kemampuan sais dalam mengendalikan dan
mengoptimalkan kuda-kudanya. Jika si sais terampil niscaya ke empat
kudanya akan kompak berderap berpacu menuju sasaran. Rintangan yang
menghadang di jalan tidak akan membuat kereta jatuh dan tak mampu
bangkit kembali. Paling-paling kereta akan mengurangi kecepatan sejenak
untuk kemudian berpacu kembali.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar